Halo Ibu-Ibu.. sudah lama rasanya tidak menulis di blog ini. Kali ini saya ingin berbagi cerita mengenai anak perempuan saya, bernama Hilya. Cerita bermula ketika berusia 15 bulan, Hilya belum bisa mengucapkan kata apapun, bahkan untuk memanggil ayah dan ibunya saja belum bisa. Saya mulai khawatir, namun orang-orang sekitar selalu menenangkan dan tidak ambil pusing terhadap kemampuan bicara Hilya. Tapi, sebagai seorang ibu pasti memiliki feeling yang kuat terhadap keadaan anaknya dan ketika itu saya merasa ada yang tidak beres dengan Hilya sehingga saya harus cari tahu.
Ketika jadwal vaksin tiba, saya berkonsultasi dengan dokter
mengenai kondisi Hilya. Lalu dokter menyarankan untuk konsultasi dengan dokter
spesialis rehabilitasi medik kenalannya yang biasa menangani masalah serupa
dengan Hilya. Keesokan harinya saya langsung menemui dokter tersebut.
Konsultasi dimulai.. Hilya mulai discreening dengan diminta untuk menyebutkan benda-benda dan
gambar-gambar yang ada di sekitar. Tidak ada yang bisa dijawab oleh Hilya π Saya juga ditanya berbagai macam
pertanyaan, seperti :
· π± Apakah
sudah bisa memanggil mama papa?
π¬ Belum
· π± Apakah di rumah menggunakan 2 bahasa?
π¬Tidak
π± Apakah biasa menggunakan gadget?
π¬Iya, kalau makan, karena Hilya termasuk anak yang sulit makan
π± Apakah Hilya bisa memahami ketika di berikan instruksi?
π¬Paham. Hilya mengerti perintah-perintah sederhana, seperti buang sampah, menutup pintu, dan lain-lain.
Setelah dokter mendengar jawaban saya, dokter belum
bisa memberikan diagnosa apapun karena usianya yang masih terlalu kecil. Dokter
hanya menyarankan untuk lebih sering mengajaknya bicara dan mengurangi
penggunaan gadget, lalu dilihat
perkembangannya sampai usia 2 tahun.
Waktu berlalu, usia Hilya menginjak 18 bulan. Belum ada
perkembangan dari kondisi Hilya. Padahal menurut IDAI, “Dalam kurun
waktu ini anak akan mengalami ledakan bahasa. Hampir setiap hari ia memiliki
kosakata baru. Ia dapat membuat kalimat yang terdiri atas dua kata (mama mandi,
naik sepeda) dan dapat mengikuti perintah dua langkah”. Jangankan dua kata,
satu kata pun Hilya belum bisa. Melihat anak-anak seusianya mulai cerewet juga membuat saya
semakin khawatir dan minder. “Ada apa dengan anak saya?” “Apakah anak saya
speech delay?” “Atau ada kondisi lain yang membuat dia tidak mau berbicara
sedikitpun?”…. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkecamuk di hati dan pikiran
saya setiap hari.
Untuk
sedikit menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mencari tahu lebih lanjut
mengenai speech delay pada anak. Akhirnya saya menemukan artikel mengenai Speech Delay pada anak di website
Ibupedia (https://www.ibupedia.com/artikel/kesehatan/anak-terlambat-bicara-di-usianya-waspada-speech-delay).
Jadi sebenarnya speech delay itu apa sih? Berdasarkan website Ibupedia, Speech Delay merupakan kondisi atau
lebih tepatnya gangguan komunikasi yang menyebabkan anak kesulitan untuk
bicara. Lalu bagaimana tanda-tandanya? Berikut beberapa poinnya :
(Sumber : https://www.ibupedia.com/infografis/tanda-speech-delay)
Dari poin-poin diatas, Hilya
memenuhi beberapa kriteria tersebut. Saat itu, saya semakin yakin bahwa saya harus berkonsultasi
lagi ke dokter tumbuh kembang untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Saya
tidak bisa menunggu hingga usia 2 tahun, khawatir semakin lama menunda akan
semakin terlambat penanganannya.
Ketika Hilya usia 19 bulan, saya datang ke klinik tumbuh
kembang anak dan berkonsultasi dengan dokter spesialis tumbuh kembang anak. Dokter
melalukan screening terhadap tumbuh
kembang Hilya untuk memberikan diagnosa yang tepat. Pertanyaan-pertanyaannya
kurang lebih sama seperti screening awal dengan dokter rehabilitasi medik sebelumnya,
namun kali ini pertanyaannya lebih detail, seperti :
· π± Apakah
ada riwayat keluarga yang mengalami keterlambatan bicara?
π¬Tidak
· π± Apakah Hilya melewatkan tahapan merangkak sebelum berjalan?
π¬Tidak, Hilya justru mengalami fase
merangkak yang cukup lama
· π± Apakah Hilya bisa menunjuk anggota badan, minimal yang ada di daerah kepala?
π¬Belum
Setelah mendengar jawaban-jawaban dari saya, Hilya diminta untuk bermain puzzle, menyusun balok, dan lain-lain. Namun saat pertemuan tersebut, Hilya hanya diam, tidak responsif terhadap permainan yang diberikan. Setelah screening, dokter menjelaskan bahwa jika dilihat dari perkembangan bahasanya saat itu memang Hilya masih jauh dari standar usianya, jadi Hilya memang ada kecenderungan ke arah speech delay. Penyebab speech delay sendiri sebenarnya bermacam-macam ya, Bu.. Namun pada kasusnya Hilya, kemungkinan besar penyebabnya adalah kurangnya stimulasi dan pengaruh pemberian gadget.
Oleh karena itu, dokter menyarankan untuk terapi Sensori Integrasi untuk meningkatkan konsentrasi dan fokusnya terlebih dahulu, lalu nanti ketika usianya sudah 2 tahun bisa dilanjutkan dengan terapi wicara. Kenapa harus terapi sensori integrasi dulu? Karena nantinya saat terapi wicara anak akan duduk diam dan membutuhkan fokus yang cukup untuk dapat menerima informasi dengan baik. Semua jenis terapi yang diberikan disesuaikan dengan kondisi anak ya Bu, tidak semua anak akan mendapatkan jenis terapi yang sama.
Setelah sesi konsultasi selesai, saya terdiam, merasa sedih
dan gagal sebagai seorang ibu. Feeling Ibu
memang tidak pernah salah kalau soal anak. Dari awal merasa ada yang tidak beres dengan Hilya, merasa butuh bantuan
dari seorang ahli, dan ternyata feeling
tersebut benar. Disaat itu, orang-orang di sekitar tidak setuju jika Hilya
harus menjalani terapi. Suami dan orang tua saya merasa Hilya baik-baik saja.
“tenang aja, nanti juga kalau sudah waktunya pasti bisa ngomong sendiri. Gausah
terlalu khawatir lah”. Kalimat itu yang selalu saya dengar dari orang-orang
terdekat saya yang mengetahui kondisi Hilya. Tapi saya tetap pada pendirian
saya untuk mengikuti saran dokter, tidak peduli omongan orang lain. Ini anak
saya, saya yang tahu kondisinya dan saya harus bisa mengambil keputusan terbaik
untuk anak saya. Selain itu, saat konsultasi tadi, dokter pun mengatakan bahwa apa yang saya lakukan sudah tepat, yaitu segera membawa Hilya konsultasi ke dokter tumbuh kembang ketika menyadari ada tanda-tanda anak terlambat bicara. Dokter juga mengatakan bahwa semakin cepat ditangani maka kesempatan menyusul ketertinggalannya akan semakin cepat juga.
Terapi Sensori Integrasi dimulai, Hilya cukup kooperatif dan responsif dengan permainan yang ada disana. Terapis juga sangat sabar mendampingi Hilya. Permainan di kelas Sensori Integrasi ini, seperti menaiki papan titian, melempar bola, naik turun tangga, memanjat tali, mengenal tekstur (dari biji-bijian, beras, slime, dan lainnya), memasukkan koin ke dalam celengan, meronce, dan masih banyak permainan lainnya yang dapat melatih konsentrasi, fokus, serta keseimbangan. Terapi ini dilakukan 2 kali seminggu dan diberikan PR yang bisa dilakukan di rumah untuk mempercepat progresnya.
Selain terapi di klinik, di rumah saya juga memaksimalkan untuk memberikan stimulasi yang tepat sesuai arahan terapis. Saya banyak berkomunikasi dengan Hilya, mengobrol tentang apapun. Menemani Hilya bermain puzzle hewan sambil mengidentifikasi nama-nama dan suaranya, atau mengajak bermain permainan lain, karena Hilya senang sekali bermain. Dia bisa cepat menangkap informasi justru dari bermain.
Dua bulan setelah rutin terapi Sensori Integrasi ini, banyak
sekali perkembangan Hilya yang saya rasakan. Hilya sudah bisa mengeluarkan
beberapa kata yang sederhana seperti :
· π§ Nyenye = nenen/menyusu
· π§Emam = makan
· π§Aba = panggilan untuk ayah
· π§Mimi = minum
Selain itu, Hilya juga sudah bisa menunjuk beberapa anggota
tubuh, memasang puzzle dengan posisi yang tepat, dan bisa lebih lama fokus pada
satu permainan. Ini awalan yang baik bagi saya, saya merasa senang karena saya
membuat keputusan yang tepat untuk Hilya.
Di usia 22 bulan, Dokter melakukan observasi kembali. Menurut
beliau, perkembangannya cukup bagus, dan saat itu Hilya bisa mencoba untuk
terapi wicara walaupun usianya belum genap 2 tahun. Namun perlu dilihat, apakah benar-benar sudah
bisa mengikuti terapi tersebut atau belum. Jika dicoba satu kali dan belum
bisa, maka tidak perlu dilanjutkan dulu dan kembali ke terapi sensori integrasi
saja, jika bisa mengikuti, silahkan dilanjutkan terapi wicara dan terapi
sensori integrasi. Ternyata di pertemuan pertama, Hilya bisa mengikuti terapi
wicara dengan baik sehingga bisa terus dilanjutkan secara rutin.
Sampai saat ini usia Hilya sudah 26 bulan (2 tahun 2 bulan)
masih rutin terapi. Banyak perkembangan yang saya rasakan. Kosa kata Hilya
semakin banyak meski artikulasinya belum jelas, pemahamannya juga semakin luas.
Walaupun belum mencapai standar kemampuan bahasa yang sesuai usianya, tapi saya
percaya suatu saat Hilya bisa lancar berbicara seperti anak-anak yang lain.
Semua bisa tercapai tidak hanya karena terapinya ya, tapi peran orang tua dan
orang-orang yang ada di rumah juga penting, karena terapi hanya 2 kali seminggu
dan sisa waktu anak dihabiskan di rumah bersama orang tua. Selain usaha, doa
juga selalu saya panjatkan agar Hilya tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tahapan usianya, agar bisa berbicara dengan lancar sehingga bisa mempermudah ia
berkomunikasi dengan orang lain.
Buat Ibu-ibu yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda yang mengarah ke speech delay, bisa segera konsultasikan dengan dokter ya. Tidak perlu merasa malu, tidak perlu merasa takut, dan tidak perlu mendengarkan kata orang yang tidak tahu persis tentang anak kita. Kita cukup mengenali anak kita sebaik-baiknya, peka dengan tanda-tanda yang diberikan anak, dan cari ilmu sebanyak-banyaknya, salah satunya bisa dengan mengunjungi website Ibupedia di www.ibupedia.com karena disana banyak sekali artikel mengenai parenting. Semoga tulisan tentang pengalaman saya ini bisa bermanfaat untuk ibu-ibu yang mungkin sedang memiliki kegelisahan yang sama. Sampai jumpa di cerita-cerita lainnya π